Thursday, November 24, 2022

Proses Mendapatkan Visa ke Amerika - Part 1

Pengalaman Urus Dokumen Imigrasi dan Student Visa ke Amerika Beberapa hari yang lalu, saya baru saja berhasil menjadwalkan waktu untuk wawancara visa ke Amerika. Nah, postingan kali ini akan lebih banyak bercerita tentang proses yang saya lakukan dan alami untuk mencapai tahap ini. Untuk bisa masuk ke negara lain, maka kita akan memerlukan sebuah dokumen yang bernama visa. Tidak terkecuali untuk masuk ke Amerika. Visa ke Amerika sangat beragam, dan kalian bisa mencari informasi ini di website resmi atau sharing pengalaman dari tulisan atau youotube. Bulan depan, tepatnya tanggal 25 Desember 2022, saya harus berangkat ke Amerika untuk menempuh pendidikan di sana. Saya sudah membeli tiket ini beberapa minggu yang lalu. Hal ini saya lakukan karena saya takut tidak mendapatkan kursi atau tidak tersedia tiket dengan harga murah. Maklum, duit pas-pasan. Sebenarnya ini sangat berisiko karena jika visa saya tidak disetujui, maka tiket pesawat saya bisa hangus atau di refund tidak penuh. Tapi saya mencoba berpikir positif dan optimis saya pasti akan mendapatkan visa ke Amerika. Bagi kalian yang juga akan melanjutkan studi ke Amerika, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mendapatkan visa. 1. Memproses Dokumen Imigrasi dari Universitas Saat kalian mendaftar ke sebuah universitas di Amerika, kalian diharuskan memenuhi persyaratan admisi yang diminta dari pihak universitas. Beberapa diantaranya seperti ijasah S1 asli/legalisir dan translate ijasah asli yang dikeluarkan oleh universitas kalian yang sebelumnya, dan ini harus dikirim ke universitas tujuan di Amerika. Kedua, tes TOEFL/IELTS dan hasil tes GRE/GMIT. Dalam kasus saya, saya tidak perlu melampirkan kedua dokumen tersebut karena suatu alasan. Ketiga, dokumen yang terkait dengan funding support, misalnya Letter of Sponsorship/Letter of Guarantee dari sponsor beasiswa jika kalian mendapatkan beasiswa. atau menyertakan Bank Statement dan Afidavit of Support jika kalian studi dengan menggunakan biaya sendiri. Dalam pengalaman saya, LoG yang saya lampirkan dalam aplikasi pendaftaran nantinya akan di review oleh tim Financial Review. Dari tim reviewer diketahui jika nilai dari beasiswa saya adalah sekitar 250k US$. Untuk single, wah ini sangat cukup sekali. Namun, karena saya membawa serta keluarga, maka biaya yang dibutuhkan untuk tinggal di Amerika selama studi saya adalah SEKITAR 310k US$. Artinya ada sekitar 60k US$ yang masih harus saya tutup. Kalian akan diminta untuk mengisi formulir Avidavit of Support, yaitu sebuah dokumen yang menunjukkan jika kalian bisa menanggung biaya di luar yang bisa di cover oleh beasiswa. Kalian juga harus melampirkan Bank Statement atau Bank Reference yang dikeluarkan oleh bank yang kalian miliki di Indonesia. Jika kalian tidak memiliki dana sebesar itu, maka kalian bisa meminjam ke keluarga atau teman terlebih dahulu. Setelah membuat Bank Statement, nanti uangnya bisa kalian kembalikan lagi. Ini juga yang saya lakukan, sehingga dapat terkumpul dana sebesar 1 Miliar di rekening saya. Saya juga menggunakan 2 rekening, yaitu dari BCA dan Bank Mandiri. Jangan kuatir, mereka tetap menerima 2 bank statement. Nah, triknya adalah, kalian bisa pinjam misalnya 500 juta yang dimasukkan ke BCA lalu membuat Bank Statement, lalu dana tersebut dikirim ke Bank Mandiri dan buatlah bank statement dari Mandiri. Jadi kalian tidak perlu meminjam sebanyak 1 Miliar sekaligus dalam 1 rekening. Jadi untuk memproses dokumen imigrasi ini, lampirkan Letter of Guarantee dari sponsor, Afidavit of Support, dan juga Bank Statement. Setelah melalui proses financial review kembali dan disetujui oleh pihak universitas, maka selanjutnya kalian akan dibuatkan dokumen imigrasi yang bernama I20 untuk apply F visa, dan DS2019 untuk apply J Visa. Karena pihak beasiswa meminta agar saya diberi J visa, maka saya mendapatkan dokumen DS2019. Tidak hanya saya, tetapi juga dependen saya atau keluarga saya yang berjumlah 3 orang. 2. Mengirimkan dokumen imigrasi ke alamat di Indonesia Karena DS2019 ini dibutuhkan dalam proses mendapatkan visa dan harus aslinya, maka nanti kita diminta universitas untuk memproses pengirimannya melalui website yang mereka rujuk. Mungkin setiap universitas bisa berbeda ya. Setelah memesan dokumen apa yang kita inginkan untuk dikirim dan menulis alamat kita di Indonesia, kita akan diarahkan untuk membayar biaya pengiriman tersebut melalui beberapa provider shiping seperti DHL atau FedDex. Biayanya sekitar 90$ dan gunakan Credit Card untuk pembayarannya ya. Kalau tidak ingin membayar, kalian bisa menggunakan layanan pengiriman reguler, namun sampai di Indonesia bisa dalam hitungan 2 - 3 bulan. Jika menggunakan pengiriman express ini, hanya butuh 1 minggu saja. Nah, setelah itu kalian bisa konfirmasi ke pihak universitas jika kalian sudah membayar jasa pengiriman tersebut, agar dokumen kalian dipersiapkan sebelum di pick up. 3. Mendaftar penjadwalan untuk wawancara visa Setelah kalian mengetahui jika dokumen DS2019/I20 kalian sudah diterbitkan, kalian bisa meminta nomor SEVIS ID kalian atau keluarga kalian melalui email.Ini dimaksudkan untuk mempersingkat waktu, jika kalian tidak memiliki waktu banyak sebelum kalian berangkat ke Amerika. Dalam kasus saya, saya harus berangkat di bulan Desember, namun hingga pertengahan November masih belum mendapatkan informasi tentang DS2019 saya. Begitu mendapatkan informasi di tanggal 17 November, saya segera melakukan proses pendaftaran visa. Berikut ini adalah langkah-langkah yang bisa kalian lakukan sekalian menunggu DS2019 kalian datang ke rumah: a. Create an account on the CGI website. Bikin akun dulu ya. - https://cgifederal.secure.force.com/ApplicantHome b. Select the city where do you want to take a visa interview. Pilihannya cuma 2, yaitu di Jakarta atau di Surabaya c. Pay the visa fee - https://www.ustraveldocs.com/id/id-niv-paymentinfo.asp. Bayar visa ini di Bank CINB Niaga dengan biaya 160$/orang. d. Pay the sevis fee at fjmfee.com. Form I901 ini dibayarnya pakai Credit Card aja ya. Jangan lupa di print recipt nya. e. Completing DS160 form - https://ceac.state.gov/GenNIV/Default.aspx; setup security question for retrieving application. Hafalkan nomor ID DS160 kalian juga ya. f. Back to CGI and complete all. Pilih Sceduled appoinment untuk menjadwalkan waktu wawancara dan masukkan informasi seperti SEVIS IS, VIRTUAL ACCOUNT number g. Interview. Jangan lupa bawa semua berkas seperti bukti bayar SEVIS FEE, DS160 PAYMENT, DS2019, foto 5x5, dan lain-lainnya. h. Pay the reciprocity fee Itulah kira-kira langkah-langkah yang harus kita lakukan dalam memproses visa study kita ke Amerika. Untuk penjadwalan, dari pengalaman saya, saya menyelesaikan mengisi form DS160 selama 2 hari, sambil menunggu verifikasi pembayaran DS160 selama 1 x 25 jam. Saya membayar pada tanggal 21 November 2022 jam 1 siang di Bank Niaga, dan baru bisa melakukan penjadwalan di tanggal 22 November 2022 jam 2 siang. Kebetulan saya mendapatkan 4 slot terakhir di tanggal 29 November 2022 jam 9 pagi. Menurut teman saya, sepertinya ada jalur khusus untuk pelajar jika ingin membuat visa ke Amerika, sehingga waktu tunggu untuk dapat melakukan wawancara visa tidak terlalu lama seperti jika kita harus mengurus visa turis. Namun jangan jadikan ini patokan ya, kalau bisa rencanakan waktu yang cukup dalam meng apply visa ke Amerika, sesuai dengan kebutuhan kalian. Demikian pengalaman saya, nanti jika ada waktu, saya akan menulis kembali tentang kelanjutan dari perjuangan mendapatkan visa ini. Doakan saya berhasil ya... #VisatoUS #Disability #BlindScholar

Thursday, November 10, 2022

10 Hal Yang Perlu Kamu Ketahui Saat Mengirim Pesan ke Tunanetra Lewat Ponsel

Etika Berkomunikasi dengan Penyandang Tunanetra melalui Aplikasi Pesan Dengan semakin majunya teknologi, saat ini penyandang Tunanetra juga bisa mengakses informasi dan berkomunikasi dengan mudah. Salah satu media komunikasi ini seperti WhatsApp, Facebook Messenger, Telegram, dan lain sebagainya. Namun ada beberapa hal yang kadang orang awas tidak memperhatikan saat mereka berkomunikasi melalui platform-platform tersebut. Misalnya dalam sebuah grup WhatsApp, kita kadang lupa jika ada anggota grup yang merupakan penyandang Tunanetra, dan mengirim pesan seperti pesan kepada orang-orang awas pada umumnya. Akibatnya, si penyandang disabilitas Tunanetra tersebut akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan informasi yang sama seprti anggota grup lainnya. Nah, ini hanya contoh saja. Masih banyak bentuk diskriminasi lain yang tidak kita sadari. Oleh karena itu, yuk kita pahami beberapa etika dalam berkomunikasi dengan penyandang Tunanetra melalui platform digital. Beberapa hal yang perlu kamu perhatikan saat berkomunikasi dengan penyandang Tunanetra melalui pesan teks di hanphone kamu 1. Jangan disingkat Memang enak menggunakan singkatan ketika menulis pesan, karena bisa mempersingkat waktu dan tidak perlu capek-capek mengetiknya di keyboard handphone yang super kecil. Misalnya, Saya menjadi Sy, Mbak menjadi Mb, Mungkin menjadi Mgkn, Tidak menjadi Tdk, dan lain-lainnya. Contoh dalam kalimat misalnya: “Kmrn sy sdh kirim psn lwt wa tp tdk d respon sm org nya.” Sayangnya, hal ini akan mempersulit Tunanetra dalam memahami pesan yang dikirim tersebut. Ini dikarenakan software pembaca layar hanya membacakan teks sehingga kata atau kalimat yang terdengar tidak akan dapat dipahami dengan mudah. Akibatnya, si Tunanetra akan menggunakan fitur pembaca karakter dan membacanya per huruf agar bisa dipahami, namun ini membutuhkan waktu dan menjadi tidak efisien bagi Tunanetra dalam mengakses informasi. Jadi jangan disingkat saat menulis pesan untuk penyandang Tunanetra. Misalnya, pada contoh kalimat di atas, seharusnya ditulis: “Kemarin saya sudah pesan lewat WA tapi tidak direspon sama orangnya.” 2. Gunakan simbol angka dengan baik Masih berkaitan dengan aturan pertama, disarankan untuk tidak menggabungkan antara huruf dan angka jika tidak sesuai kegunaannya. Misalnya, Sama-sama lebih baik daripada Sama2 3. Hindari mengirim gambar yang tidak disertai deskripsi dari gambar tersebut Biasanya kita ingin berbagi gambar dengan komunitas kita dengan mengirim gambar atau video di grup sosial media dimana kita tergabung. Sayangnya, kita sering lupa untuk memberikan keterangan tentang gambar atau video apa yang kita kirimkan. Sehingga anggota grup yang merupakan penyandang Tunanetra tidak dapat memahami informasi yang kalian bagikan. Tidak perlu panjang lebar, namun bisa memberikan gambaran tentang foto atau video tersebut. Contoh deskripsi, Foto bersama anggota tim di hotel X, di ruang Z. 4. Berbagi Poster/Flyer Selain foto dan video, kadang kita juga sering berbagi poster atau flyer sebuah kegiatan. Terkadang hanya ada foto dari poster tersebut tanpa ada keterangan lain. Kadang ada poster yang sudah dilengkapi close caption terkait isi dari poster tersebut. Yang pertama tentu tidak dapat diakses oleh teman-teman Tunanetra. Sedangkan yang kedua, bisa diakses dengan baik, namun sayangnya tidak dapat dibagikan ke grup Tunanetra lainnya. Hal ini dikarenakan biasanya poster dengan close caption tersebut saat di bagikan, maka close captionnya akan menghilang, sehingga hanya tersisa gambar poster itu saja. Sarannya, pisahkan antara gambar poster dan deskripsi/narasi dari poster tersebut. Sehingga ada 2 pesan yang kamu kirimkan. 5. Mengirim dokumen Saat kalian mengirimkan dokumen, perhatikan jenis format dari dokumen tersebut. Hindari format dokumen yang tidak aksesibel seperti format PDF jpg atau hasil scan. Gunakan format seperti PDF OCR, Word document, atau TXT file. Perhatikan juga dokumen-dokumen yang berisi tabel seperti Excel file. Intinya perhatikan aksesibilitas dokumen jika ingin mengirimkannya kepada penyandang Tunanetra. 6. Penggunaan icon emoji dalam bentuk Stiker Sampai saat ini, screen reader belum dapat membaca fitur Sticker . Memang lucu-lucu dan menarik jika kita bisa menggunakan icon tersebut. Namun sangat tidak membantu bagi Tunanetra dalam memahami informasi yang kalian berikan. Lebih baik di tulis atau gunakan icon emoji yang basic yang biasanya tersedia di dalam platform atau aplikasi kalian. 7. Penggunaan VoiceNote Ini merupakan hal yang sangat umum bagi penyandang Tunanetra dalam mengirimkan pesan. Selain mudah, si Tunanetra dapat mengkomunikasikan apa yang ingin disampaikan dengan durasi yang cukup lama. Dalam menjawab pesan VoiceNote ini, kalian bisa memilih membalasnya dengan VoiceNote juga, atau menggunakan teks saja. Keduanya bisa diakses dengan sama mudahnya oleh penyandang Tunanetra.Hal yang mungkin perlu diperhatikan adalah durasi dari VN ini. Pastikan jangan terlalu panjang, apalagi membahas hal yang tidak penting. Durasi 3 - 4 menit sudah bisa dikatakan cukup panjang. 8. Penggunaan tanda baca Hal ini sebenarnya tidak terlalu krusial. Namun pada situasi atau kondisi tertentu, kalian mungkin perlu mempertimbangkannya. Misalnya dalam menggunakan tanda baca - (tanda hubung), daripada menulis 3 - 4 minggu, bisa ditulis 3 hingga 4 minggu. Hal ini dikarenakan beberapa screen reader tidak di atur untuk membaca tanda baca. Alasannya karena jika tanda baca dibaca, maka semua tanda baca seperti titik, koma, garis miring dan lain-lainnya juga akan terbaca saat screen reader membaca sebuah kalimat atau paragraf. Hal ini bisa membuat kesalahpahaman dalam memahami sebuah informasi. 9. Jeda waktu membalas pesan Saat berkomunikasi dengan teman Netra, jangan berharap jika ia akan membalas pesan kalian dengan cepat. Tidak semua penyandang Tunanetra memiliki kemampuan yang sama dalam hal mengetik. Ada yang bisa mengetik dengan cepat dan ada yang lambat. Berikan jeda waktu baginya untuk membalas pesan kalian. Dan jika ia merasa apa yang hendak disampaikannya cukup banyak, biasanya ia akan menggunakan fitur Voice Note. Namun jika ia menggunakan aplikasi melalui komputer, misalnya WhatsApp for Desktop, maka bisa jadi ia akan dapat membalas pesan dengan teks yang panjang. 10. Berbagi tautan Ini juga tidak terlalu penting, namun pastikan tautan atau link yang kalian bagikan dapat di klik ya. Ini akan memudahkan penyandang Tunanetra dalam mengakses sebuah tautan. Jika tidak bisa di klik pun kami masih bisa meng copy tautan tersebut dan membukanya melalui browser. Ini hanya soal membantu memudahkan saja. Selain itu, jika ingin berbagi tautan meeting seperti Zoom atau Meet, bisa juga disediakan link nya langsung tanpa ada link-link lain di dalam pesan kalian. 11. Panjang pesan Ini aturan tambahan aja ya. Perhatikan panjangnya pesan yang kalian kirim. Biasanya kita membagikan sebuah pesan yang mengandung beberapa paragraf atau hanya satu paragraf, namun pesan menjadi sangat panjang. Jika memungkinkan, jadikan 1 pesan yang panjang tersebut menjadi beberapa bagian yang lebih pendek. Hal ini sangat membantu teman Tunanetra, terutama saat membaca sebuah pesan yang sangat panjang. Saat Screen Reader membacakan sebuah pesan yang sangat panjang, dan ada notifikasi pesan lain yang masuk, maka Screen Reader akan berhenti membacakan pesan tersebut, dan membacakan notifikasi yang masuk. Akibatnya, si Tunanetra harus mengulang membaca pesan tersebut. Jika hal ini terjadi berulang-ulang, maka ini akan menghabiskan waktu si Tunanetra hanya untuk membaca 1 pesan saja. Sangat tidak efisien. Itulah beberapa hal yang perlu kalian perhatikan saat mengirimkan pesan kepada penyandang Tunanetra melalui platform digital. Tentu saja ada hal-hal lain yang perlu ditambahkan dan saya berharap teman-teman Tunanetra juga bisa ber comment dalam memberikan masukan. Bagi teman-teman awas, semoga sharing pengalaman ini bisa membantu kalian dalam memahami cara berkomunikasi dengan penyandang disabilitas dan lebih meningkatkan kesadaran kalian tentang kebutuhan komunikasi dari penyandang Tunanetra serta tidak melakukan kesalahn dalam memberikan informasi.

Wednesday, November 2, 2022

Alasan Orang Ogah Kuliah di Amerika

Apa sih alasan kalian ogah kuliah di Amerika? Dari banyak ngobrol dengan teman-teman atau kolega, ada beberapa hal yang mungkin bisa menjadi alasan mereka tidak memilih Amerika sebagai tujuan studi. 1.Takut mati AS dikenal salah satunya karena kebijakan senjata legalnya. Artinya warga sipil bisa memiliki senjata dengan legal. Di tambah berita tentang penembakan massal yang terjadi, maka muncullah alasan yang satu ini. Takut mati konyol karena kena peluru nyasar. Ayo ngaku, kamu juga mikir gini kan? Padahal, sebenarnya kalau soal mati, dimana aja, kapan aja, dan dengan cara apa aja, kalau waktunya kita mati ya mati aja. Ga usah nunggu ke Amerika, lha wong di Indonesia aja juga banyak penembakan. Gimana kabar Brigadir J tuh? Atau kasus penembakan lainnya? Ayo coba pikirkan lagi. 2.Jauh Nah, karena lokasi Amerika ini berada di balik negara kita atau di balik bumi nusantara, jadi kebayang jauhnya. Naik pesawat aja ada lho yang sampe butuh 2 hari nyampe lokasi. Tua di jalan gak tuh? Tapi ada juga kok yang 1 harian aja. Dan ini pake transit dulu lho ya. Kan lumayan, misal transit di Narita Airport di Jepang, bisa tuh kalian jalan-jalan dulu di Tokyo hehehe… Foto-foto buat menghiasi Instagram kita kan lumayan tuh. Atau icip-icip makanan jepang yang asli juga boleh.Intinya, perjalanan mah dinikmati aja. Nah, mungkin masalahnya, karena jauh, mungkin selama kita studi, kita tidak bisa pulang semau kita, kecuali anda anak raja minyak hehehe… Dan sebaliknya keluarga kita tidak bisa mengunjungi kita. Kebayang dong, sendirian tanpa keluarga.. Eh tapi yang bisa bawa keluarga ya lumayan lah ada support systemnya. Di Amerika juga banyak imigran dengan nasib yang sama, so jangan khawatir sebenernya. Komunitas Indonesia di belahan bumi manapun pasti guyub. 3. Mahal Amerika memang terkenal dengan biaya pendidikan yang sangat mahal. Dan tidak hanya Indonesia, tapi juga dari beberapa negara lain pun jadi mikir dua kali kalo mau kuliah di Amerika. Sekali lagi, kalo Anda anak bang Hotman Paris, ya mungkin no problem hehehe… buktinya banyak juga lho anak-anak konglomerat atau pejabat Indonesia yang kuliahnya di negara ini. ELalu buat kita yang buat beli bakso aja ngutang gimana dong? Tenang, kan ada banyak beasiswa yang ditawarkan, seperti LPDP dan Fulbright. Banyak juga beasiswa dari universitas atau program-program seperti assistenship dari fakultas yang bisa dicoba juga. Selain beasiswa prestasi, kalian juga bisa pilih beasiswa atlet, social work, culture, student exchange, dan lain-lainnya. Cuma ya agak butuh usaha untuk mendapatkan beasiswa ini hehehe… Selain itu, biaya hidup, asuransi, dan bahkan tiket pesawatnya sangat muahaaall coy. Emang butuh dana lebih sih kalo mau berangkat ke Amerika, tapi insyaallah nanti bisa dapat gantinya kalau kita diijinkan bekerja di sana.. 4. Susah dan Sulit Admisinya Menurut saya pribadi, dulu masuk ke universitas di Australia kok gak terlalu sulit ya? Eh, begitu nyoba daftar ke universitas di Amerika… begitu syulitt…hahaha Pertama ada tes GRE/GMIT atau tes terstandard lainnya. Lha wong TPA aja nilai pas-pasan, apalagi ini? Ayo ngaku, kalian males masuk ke universitas di Amerika karena ada persyaratan ini kan? Udah tesnya mahal, nggak aksesibel buat Tunanetra, pakai bahasa inggris yang lebih sulit dari tes bahasa pula. Sebenernya, kita bisa mempersiapkan diri dengan belajar tes GRE/GMIT terlebih dahulu sebelum ambil tes ini. Tips lainnya, ya cari aja universitas yang tidak mensyaratkan GRE dalam admisi, selesai. Kedua, tes TOEFL. Kalau di Amerika, biasanya minta TOEFL IBT atau PBT. Sayangnya tes ini juga kurang aksesibel bagi Tunanetra. Namun kamu bisa pakai tes IELTS untuk menggantikannya. Ketiga, saingan banyak. Yang ingin masuk ke program pilihanmu bisa jadi dari seluruh dunia dan ini membuat kompetisi semakin syulit. Tips nya ya percaya diri aja, buktikan orang Indonesia juga pinter-pinter kok. Keempat, belum tentu kamu yang sudah memiliki biaya sendiri maupun beasiswa, bisa diterima oleh Admission Committee. Hal ini dikarenakan ada banyak dokumen yang harus kamu persiapkan dengan baik, seperti Personal Statement, CV, Writing Sample dan Recommendation Letter. Seeinget saya waktu daftar ke universitas di Australia kok nggak perlu seribet itu ya? Yang penting ada supervisor yang mau nerima kamu, kelar dah masalahmu. Tapi tidak dengan universitas di Amerika. Tapi jadi tahu kan siapa yang pejuang tangguh hehehe…. Maju tak gentar lah 5. Rasis Ada yang takut juga dengan isu rasisme di Amerika.Banyak juga cerita-cerita tentang islamofobia. Yah, mungkin saja memang ada oknum yang rasis di sana dan di sini hahaha… Rasisme bisa muncul dimana saja kok. Jadi sebenernya ini bukan alasan. Buktinya banyak juga mahasiswa dari negara-negara Islam yang kuliah di Amerika. Selain itu, untuk menghindari masalah dengan isu rasisme ini, bisa juga kalian pilih negara bagian yang penduduknya lebih ramah terhadap orang-orang non-Amerika.Dan cari universitas apa yang tersedia di state itu. Bisa juga tanya-tanya mahasiswa atau alumni yang sudah lulus dari universitas di Amerika untuk lebih pastinya. 6. Sekolahnya Lama Kalo ini sih sebenarnya khusus untuk program PhD atau Doktoral. Kalo level Master kayaknya standard aja waktunya. Lha kalo PhD? Emang sih kalo dibandingkan dengan PhD di negara maju lainnya, seperti Australia, UK, atau Eropa, bisa dikatakan waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama. Banyak cerita dan juga pernyataan langsung dari akademisi di Amerika jika waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan program PhD adalah sekitar 5 hingga 7 tahun. Faktanya, ada lho yang bisa menyelesaikan PhD di Amerika hanya dalam waktu 3 hingga 4 tahun saja. Tergantung niat dan kekonsistenan kamu dalam mengejar target. Nah, apakah ketakutan kita untuk memilih studi di Amerika sebenarnya hanya lah berdasarkan asumsi belaka? Karena kita hanya mendengar dan melihat saja, tapi tak pernah merasakannya secara langsung. Kalau menurut kalian apa alasan orang ogah kuliah di Amerika? Coba comment di bawah ya. Pada akhirnya, pilihan tempat studi memang tidak bisa kita tentukan. Kita hanya bisa bermimpi dan berusaha. Coba berbagai beasiswa dan coba berbagai negara tujuan, entah kita akan mendarat di mana. Apalagi untuk program PhD, kalian memilih supervisor bukan universitas. Dimanapun dia, disanalah kalian harus belajar. By the way, tulisan ini hanya opini pribadi penulis ya. Jika ada kesalahan atau kata-kata yang menyinggung, saya mohon maaf lahir dan batin. Semoga apa yang saya tulis dapat membantu kalian penyandang disabilitas lain yang juga ingin meraih mimpi yang sama seperti saya. The American Dreams. See you in the next topics. Bye and thanks for reading! #BlindScholar #TunetNekat #AkuBisa #StudyinUS #Tunanetra #StudidiAmerika

Monday, October 31, 2022

Jouorney to US #1: Bikin Refernsi Bank untuk Keperluan Urus Visa

Mau bikin Refernsi Bank untuk keperluan Visa? Simak cerita saya berikut ini. Saya ingin membagikan pengalaman saya sebagai seorang Tunanetra saat kemarin saya membuat surat Referensi Bank (Bank Reference) atau disebut juga Bank Statement. Semoga pengalaman ini berguna bagi kalian yang juga akan membuat surat tersebut. Sebelumnya, saya jelaskan sedikit tentang surat Referensi Bank ya. Referensi Bank merupakan surat keterangan yang diberikan kepada nasabah untuk memenuhi pengajuan persyaratan yang diminta oleh pihak ketiga (www.bcasyariah.co.id). Nah, saya membutuhkan surat ini sebagai persyaratan untuk mengurus dokumen imigrasi yang diminta oleh pihak universitas atau bisa juga dikatakan untuk mengurus visa. Bagi kalian yang ingin ke Luar Negeri untuk berbagai alasan, tentunya kalian harus memiliki surat ini. Intinya surat ini akan menyatakan jika kita adalah nasabah dari bank yang mengeluarkan surat ini dan juga mencantumkan hal-hal penting lainnya. Jadi, Referensi Bank atau Bank Statement ini akan berisi hal-hal berikut: Informasi tentang nasabah, seperti nama pemilik rekening dan nomor rekening Berapa lama kita sudah menjadi nasabah pada bank yang dimaksud Keperluan dari pembuatan Referensi Bank ini Jumlah Saldo yang ada di dalam rekening kita Dan pernyataan bank yang menyatakan jika rekening kita sehat Begitulah kira-kira gambaran sedikit tentang Bank Reference atau Bank Statement. Ceritanya, dalam proses pendaftaran masuk ke universitas saya di Amerika Serikat, saya diminta untuk melampirkan referensi bank ini. Meskipun saya mendapatkan beasiswa dengan nilai yang cukup fantastis, sayangnya beasiswa saya belum mencukupi standar biaya hidup yang dibutuhkan oleh saya dan keluarga saya selama 4 tahun. Sehingga saya harus menutup biaya yang tidak tercover oleh beasiswa dengan tabungan pribadi saya. Nah, disini saya akan menceritakan pengalaman saya dengan 2 bank yang mengeluarkan Referensi Bank untuk saya. Ya, saya menggunakan 2 Bank Reference sebagai syarat mengajukan visa. Yang pertama saya membuat Bank Reference di BCA. Pada tanggal 24 Oktober 2022, hari Senin, saya izin dari kantor untuk mengurus surat ini pada sekitar jam 11 siang. Saya diantarkan oleh supir yang menjemput saya di kantor. Sebenarnya surat ini bisa dibuat di kantor cabang, namun saya memilih ke kantor pusat karena tidak ingin berasumsi apakah kepala cabangnya ada di di bank dekat kampus saya atau tidak. Kepala cabang ini akan menentukan seberapa cepat Referensi Bank mu selesai. Karena butuh cepat, saya langsung menuju ke BCA Pusat yang ada di kota Malang. Saya tidak membawa tongkat saya karena saya sudah didampingi oleh supir saya. Begitu masuk dari pintu depan, satpam dengan ramah sudah menyambut dan menannyakan keperluan saya. Saat masuk pun kami diminta untuk check in dengan menggunakan aplikasi Peduli Lindungi. (Protokol kesehatan harus tetap dijaga lho ya…) Petugas di bagian depan kemudian mengarahkan kami menuju ke bagian Customer Service. Ya, saya langsung menuju CS tanpa harus mengantri terlebih dahulu, tapi ini bukan karena prioritas ya. Mungkin pas lagi ada yang kosong aja. Saya disambut oleh petugas CS yang juga sangat ramah. Setelah menyatakan keinginan saya untuk membuat Referensi Bank, saya diminta untuk menyerahkan beberapa dokumen. Dokumen-dokumen tersebut adalah: KTP asli NPWP pribadi Kartu ATM Buku Tabungan Lalu CS bertanya kepada siapa surat ini ditujukan, keperluan nya untuk apa, dan apakah perlu disebutkan saldo dalam rekening kita. Ia juga bertanya apakah membutuhkan rekening koran untuk dilampirkan juga atau tidak. Setelah menjawab semua pertanyaannya, saya juga meminta agar saldo ditulis dalam US$ Dollar Amerika juga. Tapi ternyata ini membutuhkan waktu karena untuk mengkonversinya biasanya dilakukan oleh divisi yang berbeda. Saya diminta untuk mengambil surat tersebut keesokan harinya pada jam 8 pagi. Setelah itu petugas tersebut mengembalikan semua dokumen saya dan meminta saya untuk mengisi survei kepuasan pelanggan . Saya meminta petugas tersebut membantu saya untuk mengisinya melalui handphone saya. Bisa dikatakan jika pelayanan BCA sangat memuaskan, mulai dari depan sampai di dalam. Mereka juga tampak sangat memahami kondisi saya yang Tunanetra, karena beberapa kali ia meminta saya menanda tangani beberapa dokumen dan tanda tangan saya kurang tepat letaknya, namun ia memakluminya. Total waktu yang saya habiskan di sini tidak terlalu lama. Sekitar 15 hingga 20 menit an saja. Jika saya tidak meminta dikonversi, maka surat itu pasti sudah di tangan saya. Besoknya, pada tanggal 26 Oktober 2022, saya bersama istri saya menuju BCA pada pagi harinya. Satpam nya seperti biasa, sangat ramah dan menanyakan keperluan kami. Setelah masuk, kami diminta menunggu hingga nomor saya dipanggil. Setelah menunggu 5 menit, nomor kami dipanggil dan saya menuju salah satu CSO. Setelah saya menyatakan keperluan saya, ia segera mengambilkan suratnya. Tidak lama, ia kembali dengan Referensi Bank yang sudah jadi dan meminta saya untuk memeriksanya terlebih dahulu. Setelah itu ia meminta saya menandatangani sebuah dokumen dan selesai. Saya langsung menuju ke kantor saya untuk mengurus Bank Reference di bank berikutnya, yaitu Mandiri. Bank ini ada di dalam universitas, jadi saya kembali ke kantor untuk meletakkan barang-barang saya terlebih dahulu. Setelah itu, saya meminta bantuan teman kantor untuk mendampingi saya ke bank Mandiri. Letaknya sekitar 300 meter dari unit saya. Ketika akan masuk, tidak ada penyambutan yang ramah dari satpam di depan bank. Jadi kami langsung masuk saja. Setelah menunggu sekitar 5 menit, kami menuju salah satu CSO dan menyampaikan keperluan saya. Apa yang ditanyakan serupa dengan saat di BCA. Oh ya, saya lupa menyampaikan, biaya yang dikenakan untuk pembuatan surat referensi ini juga sama antara di BCA dan di Mandiri, yaitu Rp 50.000,00. Saya meminta agar biaya ini dipotong dari rekening saya saja. Saat saya meminta jika jumlah saldo saya dikonversi ke Dollar Amerika, petugas menyatakan jika ini dapat dilakukan namun terpisah antara saldo dalam IDR dan dalam US$. Artinya ada 2 dokumen dan masing-masing biayanya 50 ribu. Padahal dalam Bank Reference dari BCA tertera saldo saya dalam dua currency tersebut. Tapi tidak dengan Mandiri. Sehingga saya langsung meminta dalam Dollar Amerika saja. Petugas lalu menyatakan jika surat tersebut dapat diambil hari ini juga di jam 2 siang. Teman kantor saya mengajukan diri untuk mengambilnya nanti jika sudah jadi dan saya segera mengiyakan. Setelah jadi, saya baru mengetahui jika penulisan saldo ternyata dalam IDR wkwkwk…..Yah, sudahlah. Overall, dari pengalaman saya membuat Bank Reference pada 2 bank ini dapat dikatakan sangat mudah dan cepat. Meski dari segi pelayanan, BCA lebih baik daripada Mandiri, namun sikap mereka terhadap disabilitas terutama Tunanetra sangat baik dan peduli. Mereka sangat responsif dan memahami kebutuhan saya. Demikian cerita saya. Buat kalian penyandang disabilitas, jangan khawatir lagi jika ingin mengurus sesuatu di bank, karena saat ini pelayanan mereka sudah sangat baik. Dan saya doakan semoga urusan kalian semua lancar ya… Thanks for reading, and see you in the next story! #Tunanetra #BankReference #BankStatement #Visato US #2022

Tuesday, September 7, 2021

Tunanetra Mengejar Mimpi: Raih 3 Beasiswa ke Luar Negeri untuk jenjang S2 dan S3

 MALANG - Bisa tinggal dan belajar di luar negeri merupakan hal yang banyak diimpikan oleh sebagian orang di Indonesia. Tidak terkecuali bagi seorang penyandang disabilitas seperti Tommy Hari Firmanda. Penyandang disabilitas tunanetra ini memang sebelumnya tidak pernah bermimpi atau bahkan tidak berani bermimpi untuk bisa ke luar negeri. Namun, pertemuannya dengan salah satu teman difabel netra yang saat itu sedang mengikuti tes bahasa inggris IELTS untuk mendaftar beasiswa, telah mengubah hidupnya.

"Teman saya itu mengenalkan saya dengan beasiswa dari pemerintah Australia yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas" ujarnya. Hal ini membuat Tommy menjadi penasaran dan tertarik untuk ikut mendaftar beasiswa yang dikenal dengan nama Australia Awards Scholarship (AAS). Mendaftar beasiswa ini merupakan pengalaman pertama baginya, dan cukup banyak usaha yang dilakukan untuk mendaftar. "Saya harus mencetak formulir aplikasi beasiswa  yang cukup tebal setelah sebelumnya mengerjakannya melalui dokumen Word kalau tidak salah.". Saat itu, tahun 2014, pendaftaran beasiswa masih dilakukan secara konvensional atau mengirimkan semua berkaas persyaratan dan aplikasi ke kantor Australia Awards Indonesia di Jakarta.

Setelah dinyatakan lulus seleksi administrasi dan wawancara, pengumuman jika Tommy mendapatkan beasiswa AAS untuk berkuliah di Australia dikirimkan oleh pihak AAI melalui email. Perasaan senang dan bangga bercampur menjadi satu, karena disaat yang sama, ia diterima sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, prodi Psikologi, Universitas Trunojoyo Madura. Selain itu, anak pertamanya juga lahir beberapa bulan setelahnya. "Anak saya bawa rejeki meski masih dalam kandungan" tuturnya. Ini adalah pengalaman pertama mendaftar beasiswa ke luar negeri dan Tommy mendapatkannya di kesempatan pertama.

Tommy melanjutkan studinya di Australia, tepatnya di Flinders University, di Adelaide, South Australia, untuk program Master of Education dengan spesialisasi di Special Education. Pengalaman belajar di Australia inilah yang kemudian menumbuhkan mimpi untuk bisa kembali belajar di luar negeri. Bahkan, beberapa bulan sebelum lulus di akhir tahun 2017, ia langsung mencoba beasiswa lain yang juga terbuka untuk penyandang disabilitas, yaitu beasiswa LPDP. 

Sayangnya, Tommy gagal mendapatkan beasiswa ini meski ia telah memiliki Letter of Acceptence untuk program Doktor of Philosophy (PhD) di University of Groningen, Belanda. Namun, tak menyerah begitu saja, Tommy tetap mencoba mendaftar kembali di tahun berikutnya dan kembali gagal, bahkan di seleksi administrasi.

Tahun 2019, Tommy mencoba melamar 3 beasiswa sekaligus untuk mewujudkan mimpinya kembali bisa belajar di luar negeri. Beasiswa Fulbright, AAS, dan LPDP kembali menjadi pilihannya untuk dicoba. Dari ketiga beasiswa tersebut, Tommy berhasil mendapatkan beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat. Di saat yang sama, ia juga masuk dalam shortlisted AAS. Sempat dilema, akhirnya Tommy menolak beasiswa Fulbright tersebut karena beberapa alasan. Sayangnya, ia gagal dalam seleksi wawancara dengan pihak AAS dan beasiswa LPDP gagal pada tahap seleksi substansi.

Kegagalan-kegagalan dan keputusan menolak beasiswa ini cukup membuatnya stres. Namun, tidak berlarut-larut dalam kesedihan, Tommy kembali berjuang mendaftar beasiswa di tahun 2020. Beasiswa New Zealand Scholarship NZS dan AAS kembali dicobanya. Dan sekali lagi, ia gagal mendapatkan kedua beasiswa tersebut. Ia tidak mencoba mendaftar beasiswa LPDP di tahun 2020 ini karena perubahan kebijakan di masa pandemi Covid-19 membuat pilihan program ke luar negeri di tiadakan.

Tak kenal kata menyerah, di tahun ini, Tommy kembali mencoba semua beasiswa yang tersedia. "Saya kembali mencoba semua beasiswa termasuk Fulbright, AAS, RTP, dan juga LPDP. Namun sayangnya beasiswa NZS tidak tersedia di tahun ini." kata Tommy.  Bukan tanpa hambatan, meski ia mendaftar dengan berbagai persiapan, ia tak lagi memiliki hasil tes IELTS untuk mendaftar karena sudah kadaluarsa. Aturan selama masa pandemi ini juga menyulitkannya dalam melakukan tes IELTS yang harus dilakukan secara offline dan khusus sesuai kondisi disabilitasnya. Selain itu, jumlah pendaftar beasiswa di tahun ini meningkat sangat drastis. Misalnya, beasiswa Fulbright yang pendaftarnya meningkat 10 kali lipat dari tahun lalu dan membuat kompetisi semakin berat. 

Tommy mulai merasa putus asa saat tidak ada satupun kabar mengenai hasil seleksi aplikasi beasiswanya. Namun, setelah mendapatkan email dari pihak LPDP, tepatnya di tanggal 30 Agustus 2021 malam setelah shalat isya', Tommy langsung melakukan sujud syukur. "Alhamdullilah, saya lulus seleksi wawancara beasiswa LPDP". Akhirnya perjalanan panjang mencari beasiswa berakhir sudah. 

Rasa syukur, bahagia dan bangga bercampur aduk menjadi satu. "Saya percaya Allah akan mengabulkan doa saya di waktu yang terbaik menurutNya, dan tahun ini lah saatnya.". Tommy merasa sangat bangga karena beasiswa LPDP merupakan beasiswa paling bergengsi di Indonesia dan tidak kalah, bahkan lebih baik dari beberapa beasiswa-beasiswadari pemerintah negara lain. Dengan beasiswa ini, Tommy akan bisa mewujudkan mempinya untuk bisa melanjutkan studinya di jenjang Doktoral.  Menurutnya, rasa bahagia dan emosional ini muncul karena beasiswa ini didapatkannya dengan perjuangan yang tidak mudah, apalagi dalam kondisi terbatas. "Mendaftar beasiswa LPDP adalah yang tersulit di bandingkan dengan mendaftar beasiswa lain bagi saya. Namun Alhamdullilah saya mendapatkannya di percobaan keempat". Selain itu, ia merupakan penyandang tunanetra pertama penerima beasiswa LPDP Afirmasi program Doktoral luar negeri. "Ini merupakan sebuah kehormatan dan sekaligus ajang pembuktian bahwa tunanetra juga bisa sekolah tinggi ke luar negeri". 

Apakah Tommy akan melanjutkan studinya ke Amerika Serikat atau kembali ke Australia? Yang pasti pejuangannya belum berakhir. Baginya, ini adalah permulaan dari kisah perjalanan berikutnya, yaitu perjalanan studi Doktoral di universitas di luar negeri sebagai seorang penyandang tunanetra . Tommy berharap jika kisahnya ini akan menginspirasi banyak penyandang disabilitas lain untuk tidak takut bermimpi dan mempercayai jika mereka juga bisa mewujudkan mimpi mereka suatu saat nanti.


#KejarMimpi #DifabelMenembusBatas

Saturday, April 25, 2020

Pembatasan Sosial dan Potensi Resiko Kesehatan pada Kelompok Lansia di Indonesia

by. Tommy H. Firmanda
Center for Disability Studies and Services, Universitas Brawijaya


Indonesia merupakan sebuah negara dengan kebudayaan yang khas. Mayoritas penduduk yang beragama Islam (sekitar 80%) juga merupakan ciri khas yang membedakan dari negara-negara lain di dunia. Alkultursi budaya dan agama yang beragam tersebut menciptakan karakteristik penduduk yang juga tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945, sebagai dasar negara Indinesia. Salah satu sifat yang muncul di kalangan masyarakat adalah budaya gotong royong. Slogan saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesai dari tangn pengagah, Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh, semakin mempererat jalinan persaudaraan antar sesama warga negara. Manusia adalah makhluk sosial, dan dalam konteks Indonesia, masyarakatnya sangat intens dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Faktaanya, warung-warung kecil selalu penuh sesak dengan orang-orang muda yang sekedar menghabiskan waktunya dengan minum segelas kopi bersama teman-temannya.

Selain itu, budaya kebersamaan itu juga memunculkan hal-hal yang bersifat sosial, yang dianggap menjadi sebuah kewajiban. Contohnya, pada saat bulan Ramadhan ini, tentu budaya mudik adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat muslim di Indonesia. Permasalahannya, Ramadhan tahun ini juga bersamaan dengan wabag coronavirus yang menuerang dunia, termasuk Indonesia. Selanjutnya, dalam rangka pencegahan penyebaran virus ini, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah di Indonesia. Pembatasan ini dilakukan karena banyak masyarakat yang tidak paham dengan bahaya Covid-19, dan mungkin juga karena budaya Indonesia yang suka bersosialisasi.

Dalam pelaksanaan pembatasan sosial, warga masyarakat diminta untuk melakukan kegiatan di rumah, melakukan isolasi sosial/isolasi secara mandiri dalam jangka waktu 2 minggu hingga 1 bulan ke depam. Hal ini berdampak pada pemindahan kegiatan di luar secara besar-besaran, ke dalam rumah. Banyak warung makan, restoran, pasar/toko, taman-taman bermain, kantor, dan berbagai usaha lain dipaksa untuk tutup. Tentu saja, sudah banyak praktisi dan akademisi yang mendiskusikan dampak Covid-19 ini terhadap segala aspek hehidupan, termasuk dampak ekonomi. Tulisan ini ingin membagas tentang satu aspek yang mungkin belum disadari potensi dampaknya terhadap kehidupan seseorang dalam masa pandemi Covid-19, yaitu kesehatan mental.    

Pembatasan sosial atau isolasi sosial bisa jadi adalah kebijakan yang cukup beresiko. Salah satunya dampak secara psikologis. Isolasi sosial (social isolation) merupakan sebuah keadaan dimana seorang individu keilangan atau kekurangan kontak atau interaksi antara dia dan masyarakat. Hal ini berbeda dari kesepian (loneliness), yang mencerminkan kurangnya kontak sementara dan tidak disengaja antara seseorang dengan lingkungannya, meski keduanya berkaitan erat. Isolasi sosial dapat menjadi masalah bagi individu dari segala usia, meskipun gejalanya mungkin berbeda berdasarkan kelompok umur. [1]

Isolasi sosial memiliki karakteristik yang serupa, baik dalam kasus isolasi sementara, maupun bagi mereka yang memiliki riwayat isolasi dalam jangka waktu lama. Semua jenis isolasi sosial dapat mencakup tinggal di rumah (stay at home) untuk jangka waktu tertentu, tidak ada atau kurangnya komunikasi dengan keluarga, teman atau teman, dan/atau dengan sengaja menghindari kontak secara fisik dengan manusia lain ketika peluang itu muncul.  

Apa hubungan antara pembatasan sosial, kesepian, dan kesehatan? Dan siapakah kelompok rentan yang mungkin terdampak oleh pembatasan sosial yang berlaku saat ini?

Isolasi sosial dalam wakru singkat maupun selama puluhan tahun, dapat mengarah pada kondisi kronis yang memengaruhi semua aspek kehidupan seseorang. Pembatasan sosial dapat menyebabkan munculnya perasaan kesepian, takut pada orang lain, atau harga diri negatif.

Risiko kesehatan, baik fisik maupun mental, sangat terkait dengan kesepian. Menurut hasil riset di tahun 2015, yang dilakukan oleh Julianne Holt-Lunstad, PhD, seorang profesor psikologi dan ilmu saraf di Brigham Young University, kurangnya hubungan sosial meningkatkan risiko kesehatan yang sama dengan resiko merokok 15 batang sehari atau memiliki ketergantungan alkohol. Dia juga menemukan bahwa kesepian dan isolasi sosial dua kali lebih berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental dibandingkan obesitas.

Data WHO menunjukkan bahwa orang-orang lanjut usia adalah salah satu kelompok usia yang rentan menngalami resiko kesehatan akibat pandemi Covid-19. Hampir ¾ populasi pasien positif Covid-19 yang meninggal adalah orang lanjut usia. Di sisi lain, para orang-orang tua ini juga berpotansi mengalami perasaan kesepian yang lebih berat dibandingkan sebelum diberlakukannya pembatasan sosial. Banyak orang tua yang tinggal di rumah sendiri, karena anak-anak yang tidak tinggal bersama mereka, atau bahkan tidak memiliki anak. Beberapa telah ditinggal mati oleh pasangan atau sebagian kecil tidak menikah. Sedangkan dari mereka ada yang tinggal di rumah sendiri, rumah kontrakan, dan yang lain tinggal di institusi sosial seperti panti jompo. Bagi mereka, kesepian sudah menjadi bagian yang tidak terpishkan dari kehidupan mereka. Lebaran merupakan saat yang membahagiakan karena semua anggota keluarga dapat berkumpul bersama kembali, walaupun hanya beberapa saat. Namun, kebijakan isolasi sosial mungkin akan menghalangi kebagagiaan mereka karena adanya larangan mudik dari pemerintah.

 Pembatasan sosial berdampak pada sekitar 24% orang dewasa yang lebih tua di Amerika Serikat (Cudjoe dkk, 2018). Ini artinya, di Indonesia, diasumsikan ada sekitar 64 juta jiwa lansia yang mungkin terdampak. Para lansia memiliki serangkaian dinamika isolasi yang unik. Misalnya, kemungkinan penurunan kesehatan secara keseluruhan, ketidakhadiran kerabat atau anak-anak, atau masalah ekonomi dapat menambah beban selama terisolasi (Steptoe dkk, 2013). Beberapa kondisi lain seperti kesepian yang berasal dari tidak memiliki anak, dapat menyebabkan isolasi sosial (Bachrach, 1980). Masa pensiun, akhir dari hubungan kerja secara tiba-tiba, kematian teman dekat atau pasangan juga dapat berkontribusi pada keadaan terisolasi secara sosial (Lowenthal, 1964). Di sisi lain, sebuah laporan dari Statistik Norwegia pada 2016 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen manula di atas usia 66 memiliki dua atau lebih sedikit orang untuk diandalkan jika masalah pribadi muncul (Diambil dari www.ssb.no, 2018).

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya dampak pembatasan sosial di antara individu lansia adalah gangguan pendengaran terkait usia (Lin dkk, 2013). Tentu saja, hal ini berbeda dengan penyandang Tuli yang sudah beradaptasi dengan kondisinya sejak awal, misalnya mampu membaca gerak bibir dan dapat menggunakan bahasa isyarat. Risiko gangguan pendengaran meningkat dengan bertambahnya usia disebabkan karena sifat non-regeneratif dari sel-sel rambut di telinga yang bertanggung jawab untuk mendengar (Lee, 2013). Seiring bertambahnya usia, sel-sel rambut ini akan terus mengalami kerusakan sehingga menyebabkan gangguan pendengaran (Lee, 2013). Kehilangan pendengaran, terutama pada orang dewasa akhir, dikaitkan dengan ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif, yang dapat menyebabkan ia terisolasi secara sosial (Lin dkk, 2013). Kehilangan pendengaran juga dapat membuat mereka sulit untuk mempertahankan hubungan interpersonal, yang dapat mengakibatkan isolasi sosial (Thomson, 2017). Kehilangan pendengaran dan kesepian juga menunjukkan adanya hubungan. Satu studi oleh Nachtegaal dkk (2009) di Belanda menunjukkan peningkatan tujuh persen dalam kemungkinan mengembangkan kesepian untuk setiap penurunan 1 dB dalam persepsi suara pada orang dewasa di bawah 70 tahun.

Pembatasan sosial dan kesepian pada orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan peningkatan risiko kesehatan mental dan fisik yang buruk dan termasuk peningkatan kematian (Courtin & Knapp, 2017). Ada peningkatan risiko kematian dini pada individu yang mengalami isolasi sosial dibandingkan dengan mereka yang tidak terisolasi secara sosial (Thomson dkk, 2017). Penelitian oleh London dan Ingram (2015) telah menemukan bahwa isolasi sosial dikaitkan dengan peningkatan risiko kondisi kesehatan fisik termasuk meningkatnya tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, peningkatan hormon stres, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Isolasi sosial juga terkait dengan kesehatan mental yang buruk termasuk peningkatan risiko depresi, penurunan fungsi kognitif, kecemasan, dan penggunaan narkoba (Courtin & Knapp, 2017). Selain itu, pembatasan sosial pada orang lanjut usia juga berpengaruh pada peningkatan risiko demensia (Thomson dkk, 2017).

Berdasarkan data di atas, para lansi sejak awal sudah memiliki resiko kesehatan dengan adanya isolasi sosial  yang tarjadi karena beberapa faltir di aras. Apalagi dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah diteraplan oleh beberapa pemerintah daerah dalam rangka menekan angka penyebaran Covid-19. Resiko menghadapi kematian mungkin meningkat dari sebelumnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, agar lebih memperhatikan keluarga mereka yang lanjut usia. Akses ke perawatan kesehatan, informasi tentang Covid-19, cara menghindari terkena infeksi, dan sekaligus memberikan bantuan layanan secara psikologis agar daampak pada kesehatan mental dapat diminimalkan. Sayangnya, masih banyak anak-anak muda yang tidak perduli dengan keluarga atau orang-orang tua di sekitar mereka, bahwa mereka berpotensi menyebarkan coronavirus kepada kaum lansia. Peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan kesadaran tentang bahaya Covid-19, terutama pada kaum lansia.

Kesimpulannya, kebijakan pembatasan atau isolasi sosial mungkin saja menjadi solusi terbaik saat ini, untuk menekan angka penyebaran coronavirus di Indonesia. Meskipun kebijakan ini diambil karena banyaknya orang yang tidak perduli dengan lingkungan mereka, pemerintah harus tanggap dalam mengatasi segala risilo yang muncul akibat penerapan kebijakan ini. Jangan sampai populasi rentan seperti para lansia, tidak diperhatikan kebutuhannya. Jika tidak, meski selamat dari paparan coronavirus, mereka tetap menghadapi risiko kesahatan yang muncul akibat pembatasan sosial.   

Wednesday, May 10, 2017

Hiring People with Disabilities in Indonesia

by Tommy H. Firmanda
School of Education, Flinders University




This article is discussing the result of an interview with an employer who is hiring people with disabilities in Indonesia. The interview was conducted through the phone because the participant was overseas. Initial was used on behalf of confidentiality.




Currently, many companies discriminate against persons with disabilities by not accepting them as employees. Whereas in Indonesia, the Law No. 4 of 1997 affirmed that any private corporation that has employees of at least 100 people and multiples thereof, it should give one per cent quota for workers with disabilities. However, the implementation of these regulations is still far from complete. Indeed, there are only a few of companies that implement it by giving those people with disabilities opportunities to work in their enterprises. Research shows that the laws are still very vulnerable to such adverse attitude (Stuart, 2006), such as ignores the policy. According to the interviewee (Mrs. T), this happens because the government does not have strict sanctions in running the system.

According to the interview result, Mrs. T explains why she prefers to employ persons with disabilities instead of non-disabled workers. At first, Mrs. T only employs two employees with disabilities, while the rest are undisabled workers. However, for some reason, the non-disabled workers went and did not return to the company. At the critical moment (the business would be bankrupt), employees with disabilities are the one who was decided to stay and work for Mrs. T.  These workers with disabilities were then recommend their friends who also have special needs condition and looking for a job, to Mrs. T. After a few years, these workers can prove if they are capable of producing products that are eligible for sale as well as the quality of goods that are not inferior to products made by non-disabled workers. In addition, they also able to prove that they have a responsibility and loyalty better than the non-disabled workers.

Regarding product quality, the products produced by the worker with disabilities also has its characteristics. Mrs. T's business is relating to crafts, which giving her one advantage of a unique product. This feature can happen because every worker has the specific skills depends on the condition of their bodies. For example, the products produced by those who only have a right hand or left hand only will be different than workers who can use both of their hands. The Australian Network on Disability stated that persons with disabilities have great potential and a variety of unique skills and abilities to compete in the free market and work in various occupations and industries (Disability). Moreover, this organization also assert that by hiring persons with disabilities, the entrepreneurs will get some benefits such as attract new skills and perspectives, bringing new talent as well as getting loyal employees and are committed to helping the companies that accept them as an employee, in achieving their business objectives as well as perform a satisfactory job (Disability; Houtenville & Kalargyrou, 2012).

There are a few challenges for Mrs. T in working with workers with disabilities. First, she explains that one major issue she faced was the psychological problem. According to Mrs. T, these workers have some mental issues such as laziness, lack of self-confident, and want to be pitied. These habits and thought patterns are formed from environmental influences that are around these people with disabilities. Many of the families of persons with disabilities are too overprotective or are they also lack an understanding of how to handle children with special needs such as their children. If their parents do not care about them, the people around them who care for them, even though they treat them the wrong way instead. As a result, they tend to always provide assistance to these persons with disabilities, which is based on the idea that they can not do anything independently. This way of treat affects their independence and the emergence of laziness to do something because they're used to always being helped or served by others. In fact, habituation of the people around them also affects their thought where individuals with disabilities should be pitied and helped. Because of that, they also have the idea that although they are not working yet, they can still eat. Besides, a lack of confidence also arises because these workers are not prepared to work and even their parents do not expect them to do a job. So that, when they work, they are not sure if they can do it. This psychological problem is a challenge for Mrs. T to be faced.


Most of the existing literature and studies are not show laziness as psychological factors which can be prohibitive regarding jobs among workers with disabilities. Laziness is formed from the wrong upbringing and treatment of people in the neighborhood that are inappropriate. It is not specifically found in the literature and research related to the challenges facing by employers. But in a literature review regarding the reasons of why employers hire people with disabilities, Laziness can be included in the category of personality factors (Lengnick-Hall, Gaunt, & Brooks, 2001). This conditions may occur because of differences in culture background between developed countries and developing. Indeed, studies of workers with disabilities are still not widely conducted in Indonesia.

Second, Mrs. T states that if a lack of expertise or skill is also a challenging issue. She should provide support and accommodate the needs of persons with disabilities to be able to work. It is encouraging Mrs. T to provide free training to the people with disabilities. The challenges she faced is how to do the training by the conditions of physical limitations, needs, talents and interests of persons with disabilities. Therefore, Mrs. T has modified the training and split it into three areas of specialization. The training aims to provide skills for individuals with disabilities so that they can open their own independent business, working for other companies with the help of reference of Mrs. T and some of them are employed in Mrs. T's company itself. As Boardman, Grove, Perkins, and Shepherd (2003) assert, "... Ideally, people should have access to a range of work, training and support the which is relevant to Reviews their changing needs.". Indeed, training is intended for workers with disabilities is adjusted to the condition and its needs and focus on practical skills that can be immediately implemented in the actual work.

Mrs. T argued that government support is crucial to the development of worker's disability. Although the government has made a policy, in this case, there are only a small numbers of companies that exist in Indonesia, which employs people with disabilities. Mrs. T did not explain why the level of employment among people with disabilities is very low compared to those without disabilities. However, the literature mentions that there are several reasons why the employers are afraid to hire people with disabilities which are related to the low level of employment. In their findings, firstly, the managers believe that workers with disabilities have lower levels of productivity than those without disabilities. But this is refuted by the evidence they have found in the literature review, that a lot of companies which employ people with disabilities have the same job performance and even better than the average worker without disabilities (Greenwood & Johnson, 1987; Lee & Newman, 1995; McFarlin et al., 1991; Stein, 2000; in Lengnick-Hall et al., 2001). Secondly, the employers believe that if they employ those people with special needs, it means the companies need to add more cost for the accommodation and lastly, they also believe that workers with disabilities will often use health care facilities and it also means more costs to be incurred by the company. Based on the experience of Mrs. T, all of the false beliefs are not proven, and in contrary, besides being productive and loyal, Mrs. T also can expand her business by selling the products of made by employees with disabilities abroad. Furthermore, similar to these findings, Kaye, Jans, and Jones (2011) found that not only accommodation and cost issues but also a lack of awareness of disability and afraid of legal liability as the reasons mentioned by most companies.


Mrs. T said that the government should deal with persons with disabilities from the beginning. What is meant by Mrs. T is that the problem that occurred among workers with disabilities is due to the wrong pattern of habits, lack of education and training as well as lack of support at work. In this case the government should start from the moment the persons with disabilities is still young, by giving knowledge to the parents and the community on how to handle children with special needs. Thus, persons with disabilities have been prepared to be independent and have the mental preparation that is both useful in their work.

 According to Mrs. T, companies in Indonesia should give more opportunities to the persons with disabilities to be able to work. She has proven if by employing persons with disabilities and not be an obstacle in achieving business objectives and gain advantages. Mrs. T has shows a positive attitudes toward workers with disabilities. In addition, by providing support for the employers, this positive attitudes is likely to increasing (Hernandez, Keys, & Balcazar, 2000), which means that providing assistance and support to employers is as important as providing support services for workers with disabilities.

In conclusion, interview results indicate a positive attitude toward workers with disabilities. Mrs. T as an employer provides the opportunity for persons with disabilities is even though she knew that if they did not have any skills when recruiting employees. Mrs. T did not consider if the condition of disability is a barrier for these people to work. In fact, she proved that with hard work and discipline, workers with disabilities are able to prove if they are able to compete with workers without disabilities. For Mrs. T, the toughest challenge he faced while working with them is a personality factor, where persons with disabilities tend to have habits or lifestyle pattern that is wrong, so that arose laziness at work. This happens because of the treatment of the family and the environment less precise (overprotective or too much help). This affects the level of independence, self-confidence, and mindset is wrong (feel that persons with disabilities should be pitied and be helped). Furthermore, according to Mrs. T, the government was instrumental in increasing the number of workers with disabilities, providing support for job providers and workers with disabilities. Not only through the enforcement of sanctions but also giving appreciation and convenience for companies that want to hire people with special needs. Meanwhile, some of the reasons offered by providers working on reception refusal of workers with disabilities are based on the mistaken belief regarding workers with disabilities such as the problem of accommodation, additional costs that may arise, productivity, lack of Awareness about disability and the fear of legal liability. 


The advice given by Mrs. T is to provide opportunities for persons with disabilities to work and prove their abilities. Then, last but not least, the support from the government is also very important for both parties, job providers, and workers , particularly the government should have a follow-up plans from an early age. For workers with disabilities, keep in mind that personal or individual fctors and work-performance are two important factors (Graffam, Shinkfield, Smith, & Polzin, 2002) that influence the employers decision to accepted them in a job. Therefore, persons with disabilities also need to prepare themselves mentally / psychologically before entering into employment area. 


References
Boardman, J., Grove, B., Perkins, R., & Shepherd, G. (2003). Work and employment for people with psychiatric disabilities. The British Journal of Psychiatry, 182(6), 467-468.
Disability, A. N. o. Employing people with disability.   Retrieved from http://www.and.org.au/pages/tapping-into-talent-employing-people-with-disability.html
Graffam, J., Shinkfield, A., Smith, K., & Polzin, U. (2002). Factors that influence employer decisions in hiring and retaining an employee with a disability. Journal of vocational rehabilitation, 17(3), 175-181.
Hernandez, B., Keys, C., & Balcazar, F. (2000). Employer attitudes toward workers with disabilities and their ADA employment rights: A literature review. Journal of rehabilitation, 66(4), 4.
Houtenville, A., & Kalargyrou, V. (2012). People with disabilities employers’ perspectives on recruitment practices, strategies, and challenges in leisure and hospitality. Cornell Hospitality Quarterly, 53(1), 40-52.
Kaye, H. S., Jans, L. H., & Jones, E. C. (2011). Why don’t employers hire and retain workers with disabilities? Journal of occupational rehabilitation, 21(4), 526-536.
Lengnick-Hall, M. L., Gaunt, P. M., & Brooks, A. A. (2001). Why employers don’t hire people with disabilities: A survey of the literature. College of Business, University of Texas at San Antonio.
Stuart, H. (2006). Mental illness and employment discrimination. Current Opinion in Psychiatry, 19(5), 522-526.