Saturday, April 25, 2020

Pembatasan Sosial dan Potensi Resiko Kesehatan pada Kelompok Lansia di Indonesia

by. Tommy H. Firmanda
Center for Disability Studies and Services, Universitas Brawijaya


Indonesia merupakan sebuah negara dengan kebudayaan yang khas. Mayoritas penduduk yang beragama Islam (sekitar 80%) juga merupakan ciri khas yang membedakan dari negara-negara lain di dunia. Alkultursi budaya dan agama yang beragam tersebut menciptakan karakteristik penduduk yang juga tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945, sebagai dasar negara Indinesia. Salah satu sifat yang muncul di kalangan masyarakat adalah budaya gotong royong. Slogan saat memperjuangkan kemerdekaan Indonesai dari tangn pengagah, Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh, semakin mempererat jalinan persaudaraan antar sesama warga negara. Manusia adalah makhluk sosial, dan dalam konteks Indonesia, masyarakatnya sangat intens dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Faktaanya, warung-warung kecil selalu penuh sesak dengan orang-orang muda yang sekedar menghabiskan waktunya dengan minum segelas kopi bersama teman-temannya.

Selain itu, budaya kebersamaan itu juga memunculkan hal-hal yang bersifat sosial, yang dianggap menjadi sebuah kewajiban. Contohnya, pada saat bulan Ramadhan ini, tentu budaya mudik adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat muslim di Indonesia. Permasalahannya, Ramadhan tahun ini juga bersamaan dengan wabag coronavirus yang menuerang dunia, termasuk Indonesia. Selanjutnya, dalam rangka pencegahan penyebaran virus ini, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah di Indonesia. Pembatasan ini dilakukan karena banyak masyarakat yang tidak paham dengan bahaya Covid-19, dan mungkin juga karena budaya Indonesia yang suka bersosialisasi.

Dalam pelaksanaan pembatasan sosial, warga masyarakat diminta untuk melakukan kegiatan di rumah, melakukan isolasi sosial/isolasi secara mandiri dalam jangka waktu 2 minggu hingga 1 bulan ke depam. Hal ini berdampak pada pemindahan kegiatan di luar secara besar-besaran, ke dalam rumah. Banyak warung makan, restoran, pasar/toko, taman-taman bermain, kantor, dan berbagai usaha lain dipaksa untuk tutup. Tentu saja, sudah banyak praktisi dan akademisi yang mendiskusikan dampak Covid-19 ini terhadap segala aspek hehidupan, termasuk dampak ekonomi. Tulisan ini ingin membagas tentang satu aspek yang mungkin belum disadari potensi dampaknya terhadap kehidupan seseorang dalam masa pandemi Covid-19, yaitu kesehatan mental.    

Pembatasan sosial atau isolasi sosial bisa jadi adalah kebijakan yang cukup beresiko. Salah satunya dampak secara psikologis. Isolasi sosial (social isolation) merupakan sebuah keadaan dimana seorang individu keilangan atau kekurangan kontak atau interaksi antara dia dan masyarakat. Hal ini berbeda dari kesepian (loneliness), yang mencerminkan kurangnya kontak sementara dan tidak disengaja antara seseorang dengan lingkungannya, meski keduanya berkaitan erat. Isolasi sosial dapat menjadi masalah bagi individu dari segala usia, meskipun gejalanya mungkin berbeda berdasarkan kelompok umur. [1]

Isolasi sosial memiliki karakteristik yang serupa, baik dalam kasus isolasi sementara, maupun bagi mereka yang memiliki riwayat isolasi dalam jangka waktu lama. Semua jenis isolasi sosial dapat mencakup tinggal di rumah (stay at home) untuk jangka waktu tertentu, tidak ada atau kurangnya komunikasi dengan keluarga, teman atau teman, dan/atau dengan sengaja menghindari kontak secara fisik dengan manusia lain ketika peluang itu muncul.  

Apa hubungan antara pembatasan sosial, kesepian, dan kesehatan? Dan siapakah kelompok rentan yang mungkin terdampak oleh pembatasan sosial yang berlaku saat ini?

Isolasi sosial dalam wakru singkat maupun selama puluhan tahun, dapat mengarah pada kondisi kronis yang memengaruhi semua aspek kehidupan seseorang. Pembatasan sosial dapat menyebabkan munculnya perasaan kesepian, takut pada orang lain, atau harga diri negatif.

Risiko kesehatan, baik fisik maupun mental, sangat terkait dengan kesepian. Menurut hasil riset di tahun 2015, yang dilakukan oleh Julianne Holt-Lunstad, PhD, seorang profesor psikologi dan ilmu saraf di Brigham Young University, kurangnya hubungan sosial meningkatkan risiko kesehatan yang sama dengan resiko merokok 15 batang sehari atau memiliki ketergantungan alkohol. Dia juga menemukan bahwa kesepian dan isolasi sosial dua kali lebih berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental dibandingkan obesitas.

Data WHO menunjukkan bahwa orang-orang lanjut usia adalah salah satu kelompok usia yang rentan menngalami resiko kesehatan akibat pandemi Covid-19. Hampir ¾ populasi pasien positif Covid-19 yang meninggal adalah orang lanjut usia. Di sisi lain, para orang-orang tua ini juga berpotansi mengalami perasaan kesepian yang lebih berat dibandingkan sebelum diberlakukannya pembatasan sosial. Banyak orang tua yang tinggal di rumah sendiri, karena anak-anak yang tidak tinggal bersama mereka, atau bahkan tidak memiliki anak. Beberapa telah ditinggal mati oleh pasangan atau sebagian kecil tidak menikah. Sedangkan dari mereka ada yang tinggal di rumah sendiri, rumah kontrakan, dan yang lain tinggal di institusi sosial seperti panti jompo. Bagi mereka, kesepian sudah menjadi bagian yang tidak terpishkan dari kehidupan mereka. Lebaran merupakan saat yang membahagiakan karena semua anggota keluarga dapat berkumpul bersama kembali, walaupun hanya beberapa saat. Namun, kebijakan isolasi sosial mungkin akan menghalangi kebagagiaan mereka karena adanya larangan mudik dari pemerintah.

 Pembatasan sosial berdampak pada sekitar 24% orang dewasa yang lebih tua di Amerika Serikat (Cudjoe dkk, 2018). Ini artinya, di Indonesia, diasumsikan ada sekitar 64 juta jiwa lansia yang mungkin terdampak. Para lansia memiliki serangkaian dinamika isolasi yang unik. Misalnya, kemungkinan penurunan kesehatan secara keseluruhan, ketidakhadiran kerabat atau anak-anak, atau masalah ekonomi dapat menambah beban selama terisolasi (Steptoe dkk, 2013). Beberapa kondisi lain seperti kesepian yang berasal dari tidak memiliki anak, dapat menyebabkan isolasi sosial (Bachrach, 1980). Masa pensiun, akhir dari hubungan kerja secara tiba-tiba, kematian teman dekat atau pasangan juga dapat berkontribusi pada keadaan terisolasi secara sosial (Lowenthal, 1964). Di sisi lain, sebuah laporan dari Statistik Norwegia pada 2016 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen manula di atas usia 66 memiliki dua atau lebih sedikit orang untuk diandalkan jika masalah pribadi muncul (Diambil dari www.ssb.no, 2018).

Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap meningkatnya dampak pembatasan sosial di antara individu lansia adalah gangguan pendengaran terkait usia (Lin dkk, 2013). Tentu saja, hal ini berbeda dengan penyandang Tuli yang sudah beradaptasi dengan kondisinya sejak awal, misalnya mampu membaca gerak bibir dan dapat menggunakan bahasa isyarat. Risiko gangguan pendengaran meningkat dengan bertambahnya usia disebabkan karena sifat non-regeneratif dari sel-sel rambut di telinga yang bertanggung jawab untuk mendengar (Lee, 2013). Seiring bertambahnya usia, sel-sel rambut ini akan terus mengalami kerusakan sehingga menyebabkan gangguan pendengaran (Lee, 2013). Kehilangan pendengaran, terutama pada orang dewasa akhir, dikaitkan dengan ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif, yang dapat menyebabkan ia terisolasi secara sosial (Lin dkk, 2013). Kehilangan pendengaran juga dapat membuat mereka sulit untuk mempertahankan hubungan interpersonal, yang dapat mengakibatkan isolasi sosial (Thomson, 2017). Kehilangan pendengaran dan kesepian juga menunjukkan adanya hubungan. Satu studi oleh Nachtegaal dkk (2009) di Belanda menunjukkan peningkatan tujuh persen dalam kemungkinan mengembangkan kesepian untuk setiap penurunan 1 dB dalam persepsi suara pada orang dewasa di bawah 70 tahun.

Pembatasan sosial dan kesepian pada orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan peningkatan risiko kesehatan mental dan fisik yang buruk dan termasuk peningkatan kematian (Courtin & Knapp, 2017). Ada peningkatan risiko kematian dini pada individu yang mengalami isolasi sosial dibandingkan dengan mereka yang tidak terisolasi secara sosial (Thomson dkk, 2017). Penelitian oleh London dan Ingram (2015) telah menemukan bahwa isolasi sosial dikaitkan dengan peningkatan risiko kondisi kesehatan fisik termasuk meningkatnya tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, peningkatan hormon stres, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh. Isolasi sosial juga terkait dengan kesehatan mental yang buruk termasuk peningkatan risiko depresi, penurunan fungsi kognitif, kecemasan, dan penggunaan narkoba (Courtin & Knapp, 2017). Selain itu, pembatasan sosial pada orang lanjut usia juga berpengaruh pada peningkatan risiko demensia (Thomson dkk, 2017).

Berdasarkan data di atas, para lansi sejak awal sudah memiliki resiko kesehatan dengan adanya isolasi sosial  yang tarjadi karena beberapa faltir di aras. Apalagi dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang telah diteraplan oleh beberapa pemerintah daerah dalam rangka menekan angka penyebaran Covid-19. Resiko menghadapi kematian mungkin meningkat dari sebelumnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian bersama, baik pemerintah maupun masyarakat, agar lebih memperhatikan keluarga mereka yang lanjut usia. Akses ke perawatan kesehatan, informasi tentang Covid-19, cara menghindari terkena infeksi, dan sekaligus memberikan bantuan layanan secara psikologis agar daampak pada kesehatan mental dapat diminimalkan. Sayangnya, masih banyak anak-anak muda yang tidak perduli dengan keluarga atau orang-orang tua di sekitar mereka, bahwa mereka berpotensi menyebarkan coronavirus kepada kaum lansia. Peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan kesadaran tentang bahaya Covid-19, terutama pada kaum lansia.

Kesimpulannya, kebijakan pembatasan atau isolasi sosial mungkin saja menjadi solusi terbaik saat ini, untuk menekan angka penyebaran coronavirus di Indonesia. Meskipun kebijakan ini diambil karena banyaknya orang yang tidak perduli dengan lingkungan mereka, pemerintah harus tanggap dalam mengatasi segala risilo yang muncul akibat penerapan kebijakan ini. Jangan sampai populasi rentan seperti para lansia, tidak diperhatikan kebutuhannya. Jika tidak, meski selamat dari paparan coronavirus, mereka tetap menghadapi risiko kesahatan yang muncul akibat pembatasan sosial.