Tuesday, September 7, 2021

Tunanetra Mengejar Mimpi: Raih 3 Beasiswa ke Luar Negeri untuk jenjang S2 dan S3

 MALANG - Bisa tinggal dan belajar di luar negeri merupakan hal yang banyak diimpikan oleh sebagian orang di Indonesia. Tidak terkecuali bagi seorang penyandang disabilitas seperti Tommy Hari Firmanda. Penyandang disabilitas tunanetra ini memang sebelumnya tidak pernah bermimpi atau bahkan tidak berani bermimpi untuk bisa ke luar negeri. Namun, pertemuannya dengan salah satu teman difabel netra yang saat itu sedang mengikuti tes bahasa inggris IELTS untuk mendaftar beasiswa, telah mengubah hidupnya.

"Teman saya itu mengenalkan saya dengan beasiswa dari pemerintah Australia yang diperuntukkan bagi penyandang disabilitas" ujarnya. Hal ini membuat Tommy menjadi penasaran dan tertarik untuk ikut mendaftar beasiswa yang dikenal dengan nama Australia Awards Scholarship (AAS). Mendaftar beasiswa ini merupakan pengalaman pertama baginya, dan cukup banyak usaha yang dilakukan untuk mendaftar. "Saya harus mencetak formulir aplikasi beasiswa  yang cukup tebal setelah sebelumnya mengerjakannya melalui dokumen Word kalau tidak salah.". Saat itu, tahun 2014, pendaftaran beasiswa masih dilakukan secara konvensional atau mengirimkan semua berkaas persyaratan dan aplikasi ke kantor Australia Awards Indonesia di Jakarta.

Setelah dinyatakan lulus seleksi administrasi dan wawancara, pengumuman jika Tommy mendapatkan beasiswa AAS untuk berkuliah di Australia dikirimkan oleh pihak AAI melalui email. Perasaan senang dan bangga bercampur menjadi satu, karena disaat yang sama, ia diterima sebagai dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya, prodi Psikologi, Universitas Trunojoyo Madura. Selain itu, anak pertamanya juga lahir beberapa bulan setelahnya. "Anak saya bawa rejeki meski masih dalam kandungan" tuturnya. Ini adalah pengalaman pertama mendaftar beasiswa ke luar negeri dan Tommy mendapatkannya di kesempatan pertama.

Tommy melanjutkan studinya di Australia, tepatnya di Flinders University, di Adelaide, South Australia, untuk program Master of Education dengan spesialisasi di Special Education. Pengalaman belajar di Australia inilah yang kemudian menumbuhkan mimpi untuk bisa kembali belajar di luar negeri. Bahkan, beberapa bulan sebelum lulus di akhir tahun 2017, ia langsung mencoba beasiswa lain yang juga terbuka untuk penyandang disabilitas, yaitu beasiswa LPDP. 

Sayangnya, Tommy gagal mendapatkan beasiswa ini meski ia telah memiliki Letter of Acceptence untuk program Doktor of Philosophy (PhD) di University of Groningen, Belanda. Namun, tak menyerah begitu saja, Tommy tetap mencoba mendaftar kembali di tahun berikutnya dan kembali gagal, bahkan di seleksi administrasi.

Tahun 2019, Tommy mencoba melamar 3 beasiswa sekaligus untuk mewujudkan mimpinya kembali bisa belajar di luar negeri. Beasiswa Fulbright, AAS, dan LPDP kembali menjadi pilihannya untuk dicoba. Dari ketiga beasiswa tersebut, Tommy berhasil mendapatkan beasiswa Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat. Di saat yang sama, ia juga masuk dalam shortlisted AAS. Sempat dilema, akhirnya Tommy menolak beasiswa Fulbright tersebut karena beberapa alasan. Sayangnya, ia gagal dalam seleksi wawancara dengan pihak AAS dan beasiswa LPDP gagal pada tahap seleksi substansi.

Kegagalan-kegagalan dan keputusan menolak beasiswa ini cukup membuatnya stres. Namun, tidak berlarut-larut dalam kesedihan, Tommy kembali berjuang mendaftar beasiswa di tahun 2020. Beasiswa New Zealand Scholarship NZS dan AAS kembali dicobanya. Dan sekali lagi, ia gagal mendapatkan kedua beasiswa tersebut. Ia tidak mencoba mendaftar beasiswa LPDP di tahun 2020 ini karena perubahan kebijakan di masa pandemi Covid-19 membuat pilihan program ke luar negeri di tiadakan.

Tak kenal kata menyerah, di tahun ini, Tommy kembali mencoba semua beasiswa yang tersedia. "Saya kembali mencoba semua beasiswa termasuk Fulbright, AAS, RTP, dan juga LPDP. Namun sayangnya beasiswa NZS tidak tersedia di tahun ini." kata Tommy.  Bukan tanpa hambatan, meski ia mendaftar dengan berbagai persiapan, ia tak lagi memiliki hasil tes IELTS untuk mendaftar karena sudah kadaluarsa. Aturan selama masa pandemi ini juga menyulitkannya dalam melakukan tes IELTS yang harus dilakukan secara offline dan khusus sesuai kondisi disabilitasnya. Selain itu, jumlah pendaftar beasiswa di tahun ini meningkat sangat drastis. Misalnya, beasiswa Fulbright yang pendaftarnya meningkat 10 kali lipat dari tahun lalu dan membuat kompetisi semakin berat. 

Tommy mulai merasa putus asa saat tidak ada satupun kabar mengenai hasil seleksi aplikasi beasiswanya. Namun, setelah mendapatkan email dari pihak LPDP, tepatnya di tanggal 30 Agustus 2021 malam setelah shalat isya', Tommy langsung melakukan sujud syukur. "Alhamdullilah, saya lulus seleksi wawancara beasiswa LPDP". Akhirnya perjalanan panjang mencari beasiswa berakhir sudah. 

Rasa syukur, bahagia dan bangga bercampur aduk menjadi satu. "Saya percaya Allah akan mengabulkan doa saya di waktu yang terbaik menurutNya, dan tahun ini lah saatnya.". Tommy merasa sangat bangga karena beasiswa LPDP merupakan beasiswa paling bergengsi di Indonesia dan tidak kalah, bahkan lebih baik dari beberapa beasiswa-beasiswadari pemerintah negara lain. Dengan beasiswa ini, Tommy akan bisa mewujudkan mempinya untuk bisa melanjutkan studinya di jenjang Doktoral.  Menurutnya, rasa bahagia dan emosional ini muncul karena beasiswa ini didapatkannya dengan perjuangan yang tidak mudah, apalagi dalam kondisi terbatas. "Mendaftar beasiswa LPDP adalah yang tersulit di bandingkan dengan mendaftar beasiswa lain bagi saya. Namun Alhamdullilah saya mendapatkannya di percobaan keempat". Selain itu, ia merupakan penyandang tunanetra pertama penerima beasiswa LPDP Afirmasi program Doktoral luar negeri. "Ini merupakan sebuah kehormatan dan sekaligus ajang pembuktian bahwa tunanetra juga bisa sekolah tinggi ke luar negeri". 

Apakah Tommy akan melanjutkan studinya ke Amerika Serikat atau kembali ke Australia? Yang pasti pejuangannya belum berakhir. Baginya, ini adalah permulaan dari kisah perjalanan berikutnya, yaitu perjalanan studi Doktoral di universitas di luar negeri sebagai seorang penyandang tunanetra . Tommy berharap jika kisahnya ini akan menginspirasi banyak penyandang disabilitas lain untuk tidak takut bermimpi dan mempercayai jika mereka juga bisa mewujudkan mimpi mereka suatu saat nanti.


#KejarMimpi #DifabelMenembusBatas