Center for Disability Studies and Services, Universitas Brawijaya
Indonesia merupakan
sebuah negara dengan kebudayaan yang khas. Mayoritas penduduk yang beragama
Islam (sekitar 80%) juga merupakan ciri khas yang membedakan dari negara-negara
lain di dunia. Alkultursi budaya dan agama yang beragam tersebut menciptakan
karakteristik penduduk yang juga tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945,
sebagai dasar negara Indinesia. Salah satu sifat yang muncul di kalangan
masyarakat adalah budaya gotong royong. Slogan saat memperjuangkan kemerdekaan
Indonesai dari tangn pengagah, Bersatu kita teguh, Bercerai kita runtuh,
semakin mempererat jalinan persaudaraan antar sesama warga negara. Manusia
adalah makhluk sosial, dan dalam konteks Indonesia, masyarakatnya sangat intens
dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Faktaanya, warung-warung kecil selalu
penuh sesak dengan orang-orang muda yang sekedar menghabiskan waktunya dengan
minum segelas kopi bersama teman-temannya.
Selain itu, budaya
kebersamaan itu juga memunculkan hal-hal yang bersifat sosial, yang dianggap
menjadi sebuah kewajiban. Contohnya, pada saat bulan Ramadhan ini, tentu budaya
mudik adalah suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh umat muslim di
Indonesia. Permasalahannya, Ramadhan tahun ini juga bersamaan dengan wabag
coronavirus yang menuerang dunia, termasuk Indonesia. Selanjutnya, dalam rangka
pencegahan penyebaran virus ini, pemerintah Indonesia memberlakukan kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai wilayah di Indonesia. Pembatasan
ini dilakukan karena banyak masyarakat yang tidak paham dengan bahaya Covid-19,
dan mungkin juga karena budaya Indonesia yang suka bersosialisasi.
Dalam pelaksanaan
pembatasan sosial, warga masyarakat diminta untuk melakukan kegiatan di rumah,
melakukan isolasi sosial/isolasi secara mandiri dalam jangka waktu 2 minggu hingga
1 bulan ke depam. Hal ini berdampak pada pemindahan kegiatan di luar secara
besar-besaran, ke dalam rumah. Banyak warung makan, restoran, pasar/toko,
taman-taman bermain, kantor, dan berbagai usaha lain dipaksa untuk tutup. Tentu
saja, sudah banyak praktisi dan akademisi yang mendiskusikan dampak Covid-19
ini terhadap segala aspek hehidupan, termasuk dampak ekonomi. Tulisan ini ingin
membagas tentang satu aspek yang mungkin belum disadari potensi dampaknya terhadap
kehidupan seseorang dalam masa pandemi Covid-19, yaitu kesehatan mental.
Pembatasan sosial atau
isolasi sosial bisa jadi adalah kebijakan yang cukup beresiko. Salah satunya
dampak secara psikologis. Isolasi
sosial (social isolation) merupakan sebuah keadaan dimana seorang
individu keilangan atau kekurangan kontak atau interaksi antara dia dan
masyarakat. Hal ini berbeda dari kesepian (loneliness), yang
mencerminkan kurangnya kontak sementara dan tidak disengaja antara seseorang
dengan lingkungannya, meski keduanya berkaitan erat. Isolasi sosial dapat
menjadi masalah bagi individu dari segala usia, meskipun gejalanya mungkin
berbeda berdasarkan kelompok umur. [1]
Isolasi sosial
memiliki karakteristik yang serupa, baik dalam kasus isolasi sementara, maupun
bagi mereka yang memiliki riwayat isolasi dalam jangka waktu lama. Semua jenis
isolasi sosial dapat mencakup tinggal di rumah (stay at home) untuk jangka
waktu tertentu, tidak ada atau kurangnya komunikasi dengan keluarga, teman atau
teman, dan/atau dengan sengaja menghindari kontak secara fisik dengan manusia
lain ketika peluang itu muncul.
Apa hubungan antara
pembatasan sosial, kesepian, dan kesehatan? Dan siapakah kelompok rentan yang
mungkin terdampak oleh pembatasan sosial yang berlaku saat ini?
Isolasi sosial dalam
wakru singkat maupun selama puluhan tahun, dapat mengarah pada kondisi kronis
yang memengaruhi semua aspek kehidupan seseorang. Pembatasan sosial dapat
menyebabkan munculnya perasaan kesepian, takut pada orang lain, atau harga diri
negatif.
Risiko kesehatan, baik
fisik maupun mental, sangat terkait dengan kesepian. Menurut hasil riset di
tahun 2015, yang dilakukan oleh Julianne Holt-Lunstad, PhD, seorang profesor
psikologi dan ilmu saraf di Brigham Young University, kurangnya hubungan sosial
meningkatkan risiko kesehatan yang sama dengan resiko merokok 15 batang sehari
atau memiliki ketergantungan alkohol. Dia juga menemukan bahwa kesepian dan
isolasi sosial dua kali lebih berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental
dibandingkan obesitas.
Data WHO menunjukkan
bahwa orang-orang lanjut usia adalah salah satu kelompok usia yang rentan
menngalami resiko kesehatan akibat pandemi Covid-19. Hampir ¾ populasi pasien
positif Covid-19 yang meninggal adalah orang lanjut usia. Di sisi lain, para
orang-orang tua ini juga berpotansi mengalami perasaan kesepian yang lebih
berat dibandingkan sebelum diberlakukannya pembatasan sosial. Banyak orang tua
yang tinggal di rumah sendiri, karena anak-anak yang tidak tinggal bersama
mereka, atau bahkan tidak memiliki anak. Beberapa telah ditinggal mati oleh
pasangan atau sebagian kecil tidak menikah. Sedangkan dari mereka ada yang
tinggal di rumah sendiri, rumah kontrakan, dan yang lain tinggal di institusi sosial
seperti panti jompo. Bagi mereka, kesepian sudah menjadi bagian yang tidak
terpishkan dari kehidupan mereka. Lebaran merupakan saat yang membahagiakan
karena semua anggota keluarga dapat berkumpul bersama kembali, walaupun hanya
beberapa saat. Namun, kebijakan isolasi sosial mungkin akan menghalangi
kebagagiaan mereka karena adanya larangan mudik dari pemerintah.
Pembatasan sosial berdampak pada sekitar 24%
orang dewasa yang lebih tua di Amerika Serikat (Cudjoe dkk, 2018). Ini artinya,
di Indonesia, diasumsikan ada sekitar 64 juta jiwa lansia yang mungkin
terdampak. Para lansia memiliki serangkaian dinamika isolasi yang unik.
Misalnya, kemungkinan penurunan kesehatan secara keseluruhan, ketidakhadiran
kerabat atau anak-anak, atau masalah ekonomi dapat menambah beban selama
terisolasi (Steptoe dkk, 2013). Beberapa kondisi lain seperti kesepian yang
berasal dari tidak memiliki anak, dapat menyebabkan isolasi sosial (Bachrach,
1980). Masa pensiun, akhir dari hubungan kerja secara tiba-tiba, kematian teman
dekat atau pasangan juga dapat berkontribusi pada keadaan terisolasi secara
sosial (Lowenthal, 1964). Di sisi lain, sebuah laporan dari Statistik Norwegia
pada 2016 menyatakan bahwa lebih dari 30 persen manula di atas usia 66 memiliki
dua atau lebih sedikit orang untuk diandalkan jika masalah pribadi muncul
(Diambil dari www.ssb.no, 2018).
Salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap meningkatnya dampak pembatasan sosial di antara individu
lansia adalah gangguan pendengaran terkait usia (Lin dkk, 2013). Tentu saja,
hal ini berbeda dengan penyandang Tuli yang sudah beradaptasi dengan kondisinya
sejak awal, misalnya mampu membaca gerak bibir dan dapat menggunakan bahasa
isyarat. Risiko gangguan pendengaran meningkat dengan bertambahnya usia
disebabkan karena sifat non-regeneratif dari sel-sel rambut di telinga yang
bertanggung jawab untuk mendengar (Lee, 2013). Seiring bertambahnya usia,
sel-sel rambut ini akan terus mengalami kerusakan sehingga menyebabkan gangguan
pendengaran (Lee, 2013). Kehilangan pendengaran, terutama pada orang dewasa
akhir, dikaitkan dengan ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif, yang
dapat menyebabkan ia terisolasi secara sosial (Lin dkk, 2013). Kehilangan
pendengaran juga dapat membuat mereka sulit untuk mempertahankan hubungan
interpersonal, yang dapat mengakibatkan isolasi sosial (Thomson, 2017).
Kehilangan pendengaran dan kesepian juga menunjukkan adanya hubungan. Satu
studi oleh Nachtegaal dkk (2009) di Belanda menunjukkan peningkatan tujuh
persen dalam kemungkinan mengembangkan kesepian untuk setiap penurunan 1 dB
dalam persepsi suara pada orang dewasa di bawah 70 tahun.
Pembatasan sosial dan
kesepian pada orang dewasa yang lebih tua dikaitkan dengan peningkatan risiko
kesehatan mental dan fisik yang buruk dan termasuk peningkatan kematian
(Courtin & Knapp, 2017). Ada peningkatan risiko kematian dini pada individu
yang mengalami isolasi sosial dibandingkan dengan mereka yang tidak terisolasi
secara sosial (Thomson dkk, 2017). Penelitian oleh London dan Ingram (2015)
telah menemukan bahwa isolasi sosial dikaitkan dengan peningkatan risiko
kondisi kesehatan fisik termasuk meningkatnya tekanan darah tinggi, kolesterol
tinggi, peningkatan hormon stres, dan melemahnya sistem kekebalan tubuh.
Isolasi sosial juga terkait dengan kesehatan mental yang buruk termasuk
peningkatan risiko depresi, penurunan fungsi kognitif, kecemasan, dan
penggunaan narkoba (Courtin & Knapp, 2017). Selain itu, pembatasan sosial
pada orang lanjut usia juga berpengaruh pada peningkatan risiko demensia
(Thomson dkk, 2017).
Berdasarkan data di
atas, para lansi sejak awal sudah memiliki resiko kesehatan dengan adanya
isolasi sosial yang tarjadi karena
beberapa faltir di aras. Apalagi dengan adanya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) yang telah diteraplan oleh beberapa pemerintah daerah dalam rangka
menekan angka penyebaran Covid-19. Resiko menghadapi kematian mungkin meningkat
dari sebelumnya. Hal ini tentu saja menjadi perhatian bersama, baik pemerintah
maupun masyarakat, agar lebih memperhatikan keluarga mereka yang lanjut usia.
Akses ke perawatan kesehatan, informasi tentang Covid-19, cara menghindari
terkena infeksi, dan sekaligus memberikan bantuan layanan secara psikologis
agar daampak pada kesehatan mental dapat diminimalkan. Sayangnya, masih banyak
anak-anak muda yang tidak perduli dengan keluarga atau orang-orang tua di
sekitar mereka, bahwa mereka berpotensi menyebarkan coronavirus kepada kaum
lansia. Peran pemerintah sangat penting dalam meningkatkan kesadaran tentang
bahaya Covid-19, terutama pada kaum lansia.
Kesimpulannya, kebijakan
pembatasan atau isolasi sosial mungkin saja menjadi solusi terbaik saat ini,
untuk menekan angka penyebaran coronavirus di Indonesia. Meskipun kebijakan ini
diambil karena banyaknya orang yang tidak perduli dengan lingkungan mereka,
pemerintah harus tanggap dalam mengatasi segala risilo yang muncul akibat
penerapan kebijakan ini. Jangan sampai populasi rentan seperti para lansia,
tidak diperhatikan kebutuhannya. Jika tidak, meski selamat dari paparan coronavirus,
mereka tetap menghadapi risiko kesahatan yang muncul akibat pembatasan sosial.